Bayangkan seorang anak di Papua belajar tentang “padi” dari buku teks Jakarta, sementara di halamannya tumbuh sagu. Atau anak di Madura harus menghafal lagu “Yamko Rambe Yamko” yang bukan milik budayanya sendiri. Itulah yang selama puluhan tahun membuat banyak anak merasa “sekolah bukan tempatku”. Kini, Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025, Permendikdasmen No. 10 Tahun 2025 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Panduan Kokurikuler 2025, dan Panduan Pembelajaran STEM 2025 secara tegas mewajibkan pembelajaran berbasis konteks sosial-budaya lokal—karena anak hanya akan benar-benar mencintai ilmu jika ilmu itu “berbicara dalam bahasa hatinya”.

Masalah Umum yang Ingin Diselesaikan Regulasi Baru

Apa yang Secara Eksplisit Dikatakan Regulasi 2025

Strategi Praktis yang Bisa Langsung Anda Lakukan

Untuk Guru

Untuk Orang Tua

Contoh Nyata yang Sudah Berhasil

Sudut Pandang Neurosains, Psikologi, dan Spiritual-Modern

Ringkasan Poin Penting

Ajakan Refleksi Malam Ini

Sebelum tidur, tanyakan pada diri Anda:
“Kearifan lokal apa di sekitarku yang bisa aku bawa ke kelas/rumah minggu depan,
sehingga anak-anak ini tumbuh mencintai ilmu sekaligus mencintai tanah airnya?”

Karena anak yang belajar dari akar budayanya sendiri
akan tumbuh jadi pohon yang kokoh, berdaun ilmu, dan berbuah kebaikan bagi semua.

Satu cerita leluhur yang dihidupkan kembali,
akan menyelamatkan satu generasi dari rasa asing dengan dirinya sendiri.
Mulai dari cerita Anda, mulai malam ini.