Bayangkan Anda pulang kerja, anak Anda langsung menyambut dengan cerita panjang tentang proyek STEM di sekolah, tapi Anda hanya menjawab “Iya, nanti saja ya, Mama capek.” Anak langsung diam, lalu masuk kamar.
Atau sebaliknya, anak Anda pulang dengan wajah murung karena “guru bilang aku lambat mengerti”, dan Anda langsung berkata, “Ya sudah, belajar lagi dong, jangan males!”
Kita semua pernah mengalami momen itu. Rasanya ingin dekat, tapi malah terasa jauh.

Padahal, rumah adalah “sekolah kedua” yang paling kuat dalam Kurikulum baru (Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025, Panduan STEM Nasional, Panduan Kokurikuler, dan Panduan Pembelajaran & Asesmen). Kurikulum ini menekankan pembelajaran mendalam, diferensiasi, refleksi, serta penguatan 8 dimensi Profil Lulusan Pancasila — dan semua itu tidak mungkin tercapai tanpa komunikasi efektif antara orang tua dan anak.

Masalah Umum yang Sering Terjadi di Rumah

  • Anak merasa “tidak didengar” → menutup diri, motivasi belajar turun.
  • Orang tua merasa “hanya ingin membantu” → tapi malah memicu perlawanan atau stres.
  • Pembelajaran di sekolah (STEM, proyek kokurikuler) tidak terhubung dengan rumah → anak merasa “belajar itu hanya tugas sekolah”.
  • Orang tua bingung: “Kok sekarang tidak ada PR banyak-banyak lagi? Anak saya malah main terus!”

Apa Kata Kebijakan & Ilmu Pengetahuan Terkini?

Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025 dan Panduan Pembelajaran & Asesmen menegaskan bahwa orang tua adalah mitra utama satuan pendidikan. Rumah harus menjadi ekosistem belajar yang mendukung:

  • Pembelajaran intrakurikuler–kokurikuler yang terintegrasi.
  • Regulasi emosi dan motivasi intrinsik anak (neurosains belajar).
  • Penguatan 8 dimensi Profil Lulusan Pancasila: beriman-bertakwa, berkebhinekaan global, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dll.

Dari sisi neurosains: ketika anak merasa “didengar dan dipahami” (rapport terbangun), otaknya melepaskan oksitosin dan dopamin → lebih mudah menerima masukan, lebih berani mencoba, dan lebih termotivasi belajar.

Strategi Praktis Komunikasi Efektif (Langsung Bisa Dipakai Hari Ini!)

1. Bangun Rapport Dulu (NLP – Matching & Mirroring)

  • Duduk sejajar, sesuaikan nada suara dan kecepatan bicara anak.
  • Gunakan bahasa tubuh terbuka (senyum, kontak mata lembut).
  • Mulai dengan “mirroring”: “Wah, tadi kamu bilang capek banget ya pulang sekolah?”

2. Gunakan Reframing Positif (Mengubah Bingkai Pikiran)

Alih-alih: “Kenapa nilai matematikamu jelek lagi?”
Ganti menjadi: “Sepertinya matematika lagi menantang buat kamu ya. Apa yang sudah kamu pahami dengan baik hari ini?”

3. Teknik 3 Langkah “Mendengar – Memahami – Mendampingi”

  1. Dengar tanpa memotong (minimal 1 menit penuh).
  2. Ulangi dengan kata-kata anak (paraphrase): “Jadi kamu merasa kesal karena temanmu tidak mau kerja sama di proyek kelompok ya?”
  3. Tanyakan solusi dari anak (future pacing): “Kalau besok terjadi lagi, kira-kira kamu mau coba apa supaya lebih nyaman?”

4. Aktivitas Harian Super Mudah (10–15 menit saja)

WaktuAktivitasTujuan
Pulang sekolah“High-Low-Gratitude” (Satu hal terbaik hari ini? Satu hal tersulit? Satu hal yang kamu syukuri?)Regulasi emosi + anchoring positif
Makan malam“Cerita Proyek” (Anak cerita 3 menit tentang pelajaran hari ini, orang tua hanya bertanya “Lalu apa yang terjadi?”)Menghubungkan intrakurikuler–kokurikuler
Sebelum tidur“Three Stars & One Wish” (Tiga hal yang kamu banggakan hari ini, satu harapan besok)Refleksi + motivasi intrinsik

Contoh Nyata di Rumah

Ibu Rina (kelas 5 SD) dulu sering marah kalau anaknya lambat mengerjakan proyek STEM kokurikuler. Setelah mencoba teknik rapport + reframing, sekarang setiap malam dia hanya bertanya:
“Wah, tadi bikin jembatan dari stik es krim ya? Bagian mana yang paling kamu suka prosesnya?”
Anaknya langsung bersemangat bercerita, bahkan menawarkan ide baru sendiri. Nilai proyek malah naik, dan anak jadi lebih percaya diri.

Bagian NLP, Neurosains, dan Kesadaran Spiritual-Modern

  • Anchoring: setiap selesai aktivitas “High-Low-Gratitude”, tepuk tangan bersama sambil bilang “Kita hebat hari ini!” → otak anak mengaitkan perasaan positif dengan proses belajar.
  • Future Pacing: “Bayangkan minggu depan kamu presentasi proyek itu di depan kelas… rasanya pasti bangga ya kalau semua berjalan lancar.”
  • Perspektif spiritual-modern: komunikasi yang penuh empati adalah wujud nyata akhlak mulia dan Profil Lulusan Pancasila yang beriman-bertakwa. Kita mengajarkan anak untuk “melihat dunia dari mata orang lain” — itulah empati sejati.

Ringkasan Poin Penting

  • Rumah = ekosistem belajar utama kurikulum 2025.
  • Rapport + reframing = kunci komunikasi efektif.
  • Dengar dulu, pahami, baru dampingi.
  • Aktivitas 10–15 menit setiap hari jauh lebih powerful daripada nasihat panjang.

Ajakan Refleksi untuk Anda

Malam ini, coba lakukan salah satu aktivitas di atas.
Amati wajah anak Anda ketika ia merasa benar-benar DIDENGAR.
Rasakan sendiri bagaimana hubungan kalian menjadi lebih hangat — dan bagaimana itu langsung mendukung proses belajarnya di sekolah.

Komunikasi efektif bukan bakat bawaan.
Ia adalah keterampilan yang bisa dilatih — dan dimulai dari rumah Anda, mulai dari hari ini.