Bayangkan seorang anak di Papua belajar tentang “padi” dari buku teks Jakarta, sementara di halamannya tumbuh sagu. Atau anak di Madura harus menghafal lagu “Yamko Rambe Yamko” yang bukan milik budayanya sendiri. Itulah yang selama puluhan tahun membuat banyak anak merasa “sekolah bukan tempatku”. Kini, Permendikdasmen No. 13 Tahun 2025, Permendikdasmen No. 10 Tahun 2025 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Panduan Kokurikuler 2025, dan Panduan Pembelajaran STEM 2025 secara tegas mewajibkan pembelajaran berbasis konteks sosial-budaya lokal—karena anak hanya akan benar-benar mencintai ilmu jika ilmu itu “berbicara dalam bahasa hatinya”.
Masalah Umum yang Ingin Diselesaikan Regulasi Baru
- Materi nasional satu ukuran untuk semua → anak daerah merasa asing
- Kearifan lokal hanya jadi “penyanyi tamu” di upacara, bukan inti pembelajaran
- Anak lulus pintar teori, tapi tidak bangga dengan identitas budayanya
- Profil Pelajar Pancasila dimensi “Bhineka Tunggal Ika” dan “Gotong Royong” sulit tercapai
Apa yang Secara Eksplisit Dikatakan Regulasi 2025
- Permendikdasmen No. 10/2025 Pasal 1 ayat 2: Standar Kompetensi Lulusan harus memperhatikan “konteks sosial, budaya, dan lingkungan setempat”
- Permendikdasmen No. 13/2025: Salah satu klaster kokurikuler wajib adalah Kearifan Lokal
- Panduan Kokurikuler 2025: Proyek kokurikuler harus “berakar pada konteks sosial-budaya peserta didik dan komunitas sekitar”
- Panduan Pembelajaran & Asesmen 2024: Guru wajib melakukan “diferensiasi berbasis konteks lokal”
- Panduan STEM 2025: Contoh proyek harus menggunakan bahan dan permasalahan lokal (misal: tenun ikat → matematika fraktal, sagu → bioteknologi pangan)
Strategi Praktis yang Bisa Langsung Anda Lakukan
Untuk Guru
- Mulai semester ini: Ganti 30 % contoh di buku teks dengan contoh lokal
- Matematika kelas 7: hitung luas sawah bukan luas lapangan bola
- IPA: siklus air dijelaskan dengan konteks musim kemarau lokal
- Proyek kokurikuler “Kearifan Lokal”
- Anak wawancara nenek tentang obat tradisional → buat infografis → presentasi dalam bahasa daerah + Indonesia
- Hari “Bahasa Ibu” setiap Jumat: 15 menit pertama pelajaran boleh pakai bahasa daerah
Untuk Orang Tua
- Ceritakan dongeng leluhur sebelum tidur, bukan hanya dongeng Barat
- Ajak anak ke pasar tradisional: “Lihat ini tenun songket, ini matematika yang dibuat nenek moyang kita”
- Foto karya budaya lokal anak → kirim ke grup kelas dengan caption “Kebanggaan kami dari [nama daerah]”
Contoh Nyata yang Sudah Berhasil
- SD di NTT: Anak belajar ekosistem melalui tenun ikat motif pohon hayat → anak yang dulu malu pakai tenun kini bangga memakainya ke sekolah
- SMP di Aceh: Proyek kokurikuler “Kopi Gayo Berkelanjutan” → anak menanam kopi, belajar IPA, ekonomi, sekaligus melestarikan budaya ngopi Aceh
- Rumah di Bali: Seorang ayah mengajak anak membuat canang sari sambil menghitung simetri dan proporsi → anak paham geometri sekaligus nilai spiritual leluhur
Sudut Pandang Neurosains, Psikologi, dan Spiritual-Modern
- Neurosains: Belajar dalam konteks budaya yang sudah dikenal mengaktifkan “skema” yang ada di otak → pemahaman lebih cepat dan ingatan lebih kuat
- Psikologi (Teori Identitas Sosial – Tajfel): Anak yang bangga dengan budayanya memiliki self-esteem lebih tinggi → lebih berani belajar hal baru
- NLP – Anchoring: Saat anak berhasil mempresentasikan kearifan lokalnya, tepuk tangan ramai + bilang “Ini kebanggaan kita semua” → anchor rasa bangga seumur hidup
- Spiritual-modern: Mengenal budaya lokal adalah cara anak mengenal jati diri sebagai ciptaan Allah yang unik, sekaligus menjalankan amanah menjaga warisan leluhur
Ringkasan Poin Penting
- Regulasi baru mewajibkan konteks sosial-budaya karena anak belajar paling dalam dari yang sudah dekat di hatinya
- Klaster “Kearifan Lokal” menjadi jembatan antara ilmu global dan identitas lokal
- Guru & orang tua adalah penjaga warisan sekaligus penerjemah ilmu pengetahuan
- Hasil: anak tidak hanya pintar, tapi juga bangga menjadi Indonesia
Ajakan Refleksi Malam Ini
Sebelum tidur, tanyakan pada diri Anda:
“Kearifan lokal apa di sekitarku yang bisa aku bawa ke kelas/rumah minggu depan,
sehingga anak-anak ini tumbuh mencintai ilmu sekaligus mencintai tanah airnya?”
Karena anak yang belajar dari akar budayanya sendiri
akan tumbuh jadi pohon yang kokoh, berdaun ilmu, dan berbuah kebaikan bagi semua.
Satu cerita leluhur yang dihidupkan kembali,
akan menyelamatkan satu generasi dari rasa asing dengan dirinya sendiri.
Mulai dari cerita Anda, mulai malam ini.